8 January 2012

Posted by RYAN ATMOJO |
Ada anekdot yang layak untuk di cermati, ceritanya begini ada sebuah bangsa di Afrika yang mengekspor besi ke 3 negara tujuan, yaitu ke Jerman, Jepang dan Indonesia. Di Jerman besi tersebut diubahnya menjadi mobil mewah sekelas Marcedes Benz, sedangkan di Jepang besi tersebut dibuat menjadi bahan-bahan elektronik yang canggih. Lalu terakhir di Indonesia besi tersebut dibuat menjadi cangkul, celurit atau alat pertanian sederhana. Ini bicara soal mental, bangsa Jerman dan Jepang bermental teknologi dan berpikir untuk masa depan yang besar sedangkan bangsa Indonesia masih bermental kerdil, besi yang di anugrakan Tuhan hanya dijadikan alat-alat sederhana. Cerita diatas merupakan anekdot dari bapak teknologi kita, Prof. Dr. BJ. Habibie.
Diatas sekedar ilustrasi, betapa mental bangsa kita perlu di refresh kembali. Kesadaran untuk menghadirkan sebuah mobil nasional dengan berbasis lokal sudah dirintis oleh pemerintah daerah Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu, mendahului munculnya mobil Kiat Esemka. Bedanya mobil lokal yang diberi nama Moko ini kalah populer dengan mobil buatan pelajar Kiat Esemka. Moko sendiri merupakan singkatan dari Mobil Toko, awalnya mobil ini memang diperuntukkan untuk kendaraan murah di pedesaan dan kenadaraan perkotaan yang murah meriah. Dibanding harga Kiat Esemka yang sekitar 90 juta rupiah harga MOKO lebih murah sekitar Rp.57.000.000 atau 57 juta rupiah
Lalu apa sebab Moko tidak seheboh Kiat Esemka ??? dalam teori penjualan ada 5 fakor M yang perlu diperhatikan yaitu Man (Manusia), bicara SDM tenaga yang merakit Moko tidak kalah bahkan lebih unggul dari pelajar SMK, Moko dirakit oleh mahasiswa dari Unhas. M kedua adalah Money, secara permodalan Pemprov yang merupakan embrio mobil ini telah menganggarkan duit rakyat sebanyak 2,5 milyar untuk 50 unit. Jadi dari segi modal Moko lebih unggul. M ketiga adalah Market (Pasar), soal pasar Moko dan Kiat Esemka berimbang, Moko unggul diharga yang lebih murah sedangkan Kiat Esemka unggul di rancang mobil yang bagus. M keempat adalah Media, nah disini letak keunggulan mobil rakitan pelajar SMK. Moko yang dibidani pemprov kalah promosi oleh KIAT Esemka, tentu penyebabnya karena mental birokrat di jajaran pemrov yang tidak peka terhadap media dan promosi. M terakhir adalah Marketing, yaitu tenaga pemasaran. Lagi-lagi Moko kalah kelas, mobil Kiat Esemka telah dipakai oleh pejabat sekelas walikota, sedangkan Moko masih diparkir manis di rumah jabatan Gubernur Sulsel.
Sudah terjawab Moko tenggelam karena faktor media dan marketing. Saya ingat dulu bagaimana jeniusnya Habibie bersama krunya di IPTN bisa merakit pesawat sekelas CN 235  tapi yang terjadi beberapa tahun kemudian perusahaan pembuatan CN 235 gulung tikar, biaya operasional tinggi sedangkan pemasukan sedikit. IPTN merupakan sekumpulan orang-orang jago merakit tapi tidak andal menjual (marketing), padahal marketing merupakan faktor kunci keberhasilan. Hingga muncul plesetan terhadap nama Habibie yaitu hanya bisa bikin. Berkaca pada Singapura tidak punya industri yang hebat tapi negeri kecil ini jago dalam pemasaran, maka jangan heran jika pasien kita yang cuman kena bisul mesti berobat ke Singapura, karena Singapura pandai menjual keunggulan mereka.
Rasanya tidak sulit untuk menghadirkan sebuah mobil nasional seperti Moko, Kiat Esemka, GEA atau Tawon. Yang berat adalah bagaimana mobil ini bisa laku di pasaran dan bisa survive. Jadi mesti ada multidisiplin ilmu dari enggineer, marketing, akunting, hukum hingga SDM untuk bersama membesarkan embrio mobil nasional ini. Kita tidak ingin Kiat Esemka, Moko, GEA atau Tawon bernasib sama dengan mobil Timor.

0 comments:

Post a Comment