29 April 2012

Posted by RYAN ATMOJO |

1. Pengertian Dasar Negara
Dasar Negara adalah fandemen yang kokoh dan kuat serta bersumbar dari pandangan hidup atau falsafah(cerminan dari peradaban, kebudayaan, keluhuran budi dan kepribadian yang tumbuh dalam sejarah perkembangan Indonesia) yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

2. Proses Penyusunan dan Penetapan dasar Negara

a. Tahap Pembentukan BPUPKI
BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 dan dilantik tanggal 28 Mei 1945.Pembentukan BPUPKI memberi kesempatan secara legal kepada Indonesia untuk mempersiapkan kemerdekaan dan merancang UUD yang berisi dasar negara.

b. Tahap Penyusunan Konsep Rancangan Dasar Negara dan UUD
  • · Sidang Pertama BPUPKI(29 Mei s/d 1 Juni 1945)
Pada sidang ini K.R.T Radjiman Widyodiningrat(ketua BPUPKI), menyampaikan tentang dasar falsafah yang akan dibentuk bagi bangsa Indonesia.Usulan-usulan dasar Negara RI yang muncul pada sidang ini, antara lain:
  • o Mr. Moh. Yamin
Secara lisan;
1) Peri Kebangsaan
2) Peri Kemanusiaan
3) Peri Ketuhanan
4) Peri Kerakyatan
5) Kesejahteraan Rakyat
Secara tertulis;
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia
3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5) Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
  • o Prof. Dr. R. Soepomo
1) Paham negara persatuan
2) Hubungan negara dan agama
3) Sistem badan permusyawaratan
4) Sosialisme negara
5) Hubungan antar bangsa
  • o Ir. Soekarno
Pancasila;
1) Kebangsaan Indonesia
2) Internasionalisme atau perikemanusiaan
3) Mufakat atau demokrasi ekonomi negara bersifat kekeluargaan
4) Kesejahteraan sosial
5) Ketuhanan yang berkebudayaan
Dapat diperas menjadi Trisila;
1) Sosionalisme
2) Sosiodemokratis
3) Ketuhanan
Dapat diperas lagi menjadi Ekasila;
1) Gotong royong
Pada sidang pertama BPUPKI belum tercapai kesepakatan tentang dasar Negara.Kemudian dibentuk panitia Sembilan.
  • · Panitia Sembilan
Anggota Panitia Sembilan adalah:
Ir. Soekarno Abikusno Tjokrosoejoso
Drs. Moh. Hatta H. Agus Salim
Mr. A.A. Maramis Mr. Ahmad Soebarjo
K.H. Wahid Hasyim Mr. Moh. Yamin
Abd. Kahar Muzakir
Pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar Negara Indonesia yang dikenal dengan Jakarta Charter(Piagam Jakarta).

Rumusan Dasar Negara Menurut Jakarta Charter
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusian yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.


c. Sidang BPUPKI Kedua(10 s/d 16 Juli 1945)
Pada sidang kedua ini membicarakan tentang rancangan UUD Negara Indonesia dengan membentuk panitia kecil, yaitu;
  • · Panitia Kecil yang dipimpin oleh Ir. Soekarno
    • Ø Bertugas merumuskan rancangan Pembukaan UUD yang berisi tujuan dan asas Negara Indonesia.
  • · Panitia Kecil yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mr. R. Soepomo
    • Ø Bertugas merumusakan rancangan batang tubuh UUD dan naskah proklamasi.
Pada tanggal 14 Juli 1945 telah diterima rancangan dasar Negara sebagaimana tersebut dalam Piagam Jakarta yang dicantumkan dalam Pembukaan dari rencana UUD yang sedang disiapkan.

d. Penetapan UUD 1945
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI menetapkan:
1. Mengesahkan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.
2. Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden RI yang pertama.
3. Untuk sementara waktu, pekerjaan presiden sehari-hari dibantu oleh BP-KNIP.
Rumusan dasar Negara yang disahkan dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut;
a. Ketuhanan Yang Maha Esa
b. Kemanusuaan yang adil dan beradab
c. Persatuan Indonesia
d. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
e. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

3. Pancasila Ditinjau dari Tekstualnya
Ditunaju dari tekstual, bahwa Pancasia sebagai dasar Negara Republik Indonesia tercantum dalam konstitusi Negara,yakni pada Pembukaan UUD 1945 alinea 4 (merupakan landasan konstitusional dan ideology Negara).
Posted by RYAN ATMOJO |


            Menurut ahli kenegaraan Oppenheimer dan Lauterpacht, suatu Negara harus memenuhi syarat-syarat : rakyat yang bersatu, daerah atau wilayah pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari Negara lain. Sedangkan menurut Konvensi Montevideo (Uruguay) tahun 1933 yang merupakan Konvensi Hukum Internasional, Negara harus mempunyai empat unsur konstitutif, yaitu:
a.   Harus ada penghuni (rakyat, penduduk, warga Negara) atau bangsa (staatsvolk)
b.   Harus ada wilayah atau lingkungan kekuasaan
c. Harus ada kekuasaan tertinggi (penguasa yang berdaulat) atau pemerintahan yang berdaulat
d.    Kesanggupan berhubungan dengan Negara lain

  • Rakyat : merupakan unsur terpenting Negara, karena rakyatlah yang pertama kali berkehendak membentuk Negara. Secara politis, rakyat adalah semua orang yang berada dan berdiam dalam suatu Negara atau menjadi penghuni Negara yang tunduk pada kekuasaan Negara itu. Pembagian rakyat di dalam Negara dapat dilihat pada bagan berikut ini:

 
Negara sebagai suatu identitas adalah abstrak, yang tampak adalah unsur-unsur negara yang berupa rakyat, wilayah, dan pemerintah. Salah satu unsur negara adalah rakyat. Rakyat yang tinggal diwilayah negara menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Warga Negara adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah dan rakyat tertentu dalam hubungannya dengan Negara. Dalam hubungan antara warga Negara dan Negara, warga negara mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap Negara dan sebaliknya warga Negara juga mempunyai hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh Negara.  Dalam hubungan internasional di setiap wilayah Negara selalu ada warga Negara dan orang asing yang semuanya disebut penduduk. Setiap warga Negara adalah penduduk suatu Negara, sedangkan setiap penduduk belum tentu warga Negara, karena mungkin seorang asing. Sedangkan seorang asing hanya mempunyai hubungan selama dia bertempat tinggal di wilayah Negara tersebut.
Kriteria Menjadi Warga Negara:

1. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia
2.   Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing
3.    Kriterium Kelahiran
4.    Naturalisasi dan Pewarganegaraan

Pasal yang Tercantum di dalam UUD 45 Tentang Warga Negara

Pasal 26
Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab yang bertempat kedudukan di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara, Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Pasal 27, 30, dan 31
Telah jelas. Pasal-pasal ini mengenai hak-hak warga negara.
Pasal 28, 29, dan 34
Pasal ini mengenai kedudukan penduduk. Pasal-pasal, baik yang hanya mengenai warga negara maupun yang mengenai seluruh penduduk membuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusian.
Pasal - Pasal  yang Tercantum di dalam UUD 45 Tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia 
Pasal 27 Sampai 37
Hak Warga Negara Indonesia
a. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
b. Hak membela negara
c. Hak berpendapat
d. Hak kemerdekaan memeluk agama
e. Hak mendapatkan pengajaran
f.  Hak utuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional indonesia
g. Hak ekonomi untuk mendapat kan kesejahteraan sosial
h. Hak mendapatkan jaminan keadilan social
Kewajiban Warga Negara Indonesia
a. Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan
b. Kewajiban membela negara
c. Kewajiban dalam upaya pertahanan Negara


Posted by RYAN ATMOJO |


Masyarakat madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang satu tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita. Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian.
Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Masyarakat Sipil Vs  Militer
Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu mengkoreksi kekuatan “militer “ yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan dan keamanan.
Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan keharusan sejarah setelah melihat betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai “backing” untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok ekonomi kuat tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto. Sementara mereka tidak melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi substansialnya yakni pertahanan dan keamanan.
Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman masyarakat, serta kekurangprofesionalan dalam teknik penanganan pada kasus-kasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup memiliki kecakapan pada fungsi utamanya. Maka sangat wajar bila kader-kader militer dipersilahkan untuk hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif, ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak.
Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI, khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja namun masalahnya apakah masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran peran militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran militer selama masa orde baru menyebabkan terjadinya proses kristalisasi konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata lain telah terjadi gejala “contradictio internemis” pada wacana masyarakat madani dalam masyarakat kita dewasa ini.
Masyarakat Sipil Vs Negara
Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes, Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi alat kapitalisme.
Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan non-pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat.
Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya, “serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam”.
Penggugatan peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama sekali baru. Bob S.Hadiwinata (1999) mencatat sejarah panjang gerakan sosial di Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai masa orde baru. Menurutnya pemerintahan orde baru, Soeharto, telah “berhasil” mengangkangi hak-hak sipil selama 32 tahun, dengan apa yang ia sebut “tiga strategi utama”. Dan selama itu pula proses marjinalisasi hak-hak rakyat terus berlangsung, untuk kepentingan sekelompok pengusaha kroninya, dengan bermodalkan slogan dan jargon “pembangunan”.
Celakanya rembesan semangatnya sampai pada strata pemerintahan yang paling bawah. Camat, lurah, sampai ketua RT pun lebih fasih melantunkan slogan dan jargon yang telah dipola untuk kepentingan ekonomi kuat. Tetapi sementara mereka menjadi gagap dalam mengaksentuasikan kepentingan rakyatnya sendiri. Maka yang terjadi, pasar yang telah mentradisonal menghidupi ribuan masyarakat kecil di bongkar untuk dijadikan mall atau pasar swalayan. Demikian pula, sawah dan kebun petani berubah fungsi menjadi lapangan golf. Perubahan yang terjadi di luar jangkauan kebutuhan dan pemikiran masyarakat karena mekanisme musyawarah lebih banyak didengungkan di ruang penataran ketimbang dalam komunikasi sosial.
Masyarakat Peradaban dan Jahiliyah
Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah Nabi Muhammad, Rosullullah s.a.w sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah menunjuk sebuah kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik,  Nabi diijinkan untuk memperkuat diri dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat ini adalah pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan konsep ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi horizontal.
Sistem sosial madani ala Nabi s.a.w memiliki ciri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi, dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relavan dalam konteks waktu dan tempat berbeda, sehingga pada dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas. Mengenai hal yang terakhir ini Nabi s.a.w telah memberi cotoh yang tepat, bagaimana sebaiknya memperlakukan kelompok minoritas ini.

Mungkinkah terwujud?
Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat adanya  partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani, adalah ditemukannya fenomena, (a) demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c) supremasi hukum; dalam masyarakat.
Pertama, sehubungan dengan karakteristik pertama yakni demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social society berkaitan dengan  public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu.  Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara berimbang. Maka dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku praktis politik, merupakan bagian yang terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut.
Kedua, partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural maupun struktural kehidupan bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan.
Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen gerakan masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa orde baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku. Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan berlangsungnya demokrasi pura-pura atau pseudo democratic sebagaimana demokrasi yang dijalankan rezim orde baru.
Ketiga, penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa untuk iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire).
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.
Penutup
Seperti telah dikemukakan di atas, masyarakat madani membutuhkan institusi sosial, non-pemerintahan, yang independen yang menjadi kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat, maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada di masyarakat. Akan tetapi institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering berposisi sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan swadaya masyarakat.
Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani. Ada memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi jumlahnya belum signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun kultural. Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi kemandirian yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran independensi yang tinggi. Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih membutuhkan proses yang panjang. Dan boleh jadi hanya impian manakala pro status quo tetap berkuasa.


Posted by RYAN ATMOJO |


Konstitusi (bahasa latin: constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara-biasanya dimodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam kasus bentukan negara,konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum,istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik,prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur,prosedur,wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya.Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya.
Jenis organisasi yang menggunakan konsep Konstitusi :
·        Organisasi pemerintahan (transnasional,nasional atau regional
·        Organisasi sukarela
·        Persatuan dagang
·        Partai politik
·        Perusahaan
v Pengertian Konstitusi menurut para ahli
1.     K.C. Wheare
Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur  /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
2.     Herman Heller
Konstitusi mempunyai arti luas daripada UUD. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tetapi juga sosiologis dan politis
3.     Lasalle
Konstitusi adalah hubungan antara kekuasaan yang terdapat di dalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata di dalam masyarakat.
v Tujuan Konstitusi
a.     Membatasu kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang-wenang maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa,konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa merugikan masyarakat.
b.     Melindungi HAM.maksudnya setiap penguasa berhak menghormati HAM orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
c.      Pedoman penyelenggaraan negara.maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.
v Nilai Konstitusi
1.     Nilai Normatif
Adalah suatu konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum(legal),tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efgektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
2.     Nilai Nominal
Adalah suatu konstitusi yang menurut hukum berlaku,tetapi tidak sempurna.Ketidak sempurnaan itu disebabkan pasal-pasal tertentu tidak berlaku/tidak seluruh pasal-pasal yang terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh wilayah negara.
3.     Nilai Semantik
Adalah suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan penguasa saja.Dalam memobilisasi kekuasaan,penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.
v Macam-macam Konstitusi
1.     Konstitusi Tertulis
2.     Konstitusi tidak tertulis
v Syarat terjadinya Konstitusi
ü Agar suatu bentuk pemerintahan dapat dijalankan secara demokrasi dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
ü Melindungi asas demokrasi.
ü Menciptakan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan rakyat.
ü Untuk melaksanakan dasar negara
ü Menentukan suatu hukum yang bersifat adil
v Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi yaitu nampak pada gagasan dasar,cita-cita dan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD suatu negara.Dasar negara sebagai pedoman penyelenggaraan negara secara trtulis termuat dalam konstitusi suatu negara.
v Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak tertulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemerintahan diselenggarakan.
v Peraturan Perundang-Undangan
Dalam konteks negara Indonesia adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU N0.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
1.     UUD 1945,merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara RI.
2.     Ketetapan MPR
3.     Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang(Perpu)
4.     Peraturan Pemerintah (PP)
5.     Peraturan Presiden (Perpres)
6.     Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussaalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Papua dan Papua Barat.
A.    UUD 1945
Naskah resmi UUD 1945 adalah:
·        Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
·        Naskah perubahan pertama,perubahan kedua,perubahan ketiga dan perubahan keempat UUD 1945 (masing-masing hasil sidang Umum MPR Tahun 1999,2000,2001,2002).
B.     Undang-undang
Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden.Materi muatan Undang-undang adalah:
·        Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia,hak dan kewajiban warga negara,pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara,wilayah dan pembagian daerah,kewarganegaraan dan kependudukan,serta keuangan negara.
·        Diperintahkan oleh suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-undang
C.     Peraturan Pemerintah Pennganti Perundang-undangan
Adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikwal kegentingan yang memaksa.Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah sama dengan materi muatan Undang-undang.
D.       Peraturan Pemerintah
Adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.
E.     Peraturan Presiden
Adalah Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan peraturan Pemerintah/
F.     Peraturan Daerah
Adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPD dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota).
G.    Ketetapan MPR
Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan,tugas dan wewenang MPR.